Wednesday, December 23, 2009

Hukum Bermain Dadu

Banyak Permainan terkenal yang digemari leh orang ramai mengandungi perkara yang diharamkan oleh syariat.Diantaranya permainan dadu yang darinya muncul permainan seperti rolet dan seumpamanya,RasululLah S.A.W memperingatkan permainan yang merupakan pintu kepada perjudian sebagaimana dalam sabdanya “read more”

( من لعب بالنردشير فكأنما صبغ يده في لحم الخنزير ودمه ) - Sesiapa yang bermain dadu maka ia seolah-olah mencelup tangannya ke dalam daging babi dan darah babi.Hadits Riwayat Muslim 4/1770.
Dalam hadits marfu'Abu Musa Asy-a'ari meriwayatkan: ( من لعب بالنرد فقد عسى الله ورسوله ) Sesiapa yang bermain dadu maka ia telah berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya.Hadits Riwayat Bukhari 10/465

Nukilan dari:Buku DOSA_DOSA Yang di pandang ringan oleh manusia karya Muhammad Soleh al-Munajjid.

Monday, December 21, 2009



SABAR DALAM UJIAN DAN DUGAAN ALLAH SUBHANAHU WATA'ALA

Sesungguhnya ujian dan dugaan yang datang bertubi-tubi menerpa hidup manusia merupakan satu ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla. Tidak satu pun diantara kita yang mampu menghalau ketentuan tersebut.

Keimanan, keyakinan, tawakkal dan kesabaran yang kukuh dan kuat amatlah diperlukan oleh setiap orang hambanya dalam menghadapi berbagai dugaan yang menimpanya. Sehingga tidak menjadikan dirinya berburuk sangka kepada Allah Subhanahu wata’ala terhadap apa yang telah ditentukan baginya.

Oleh karena itu, dalam keadaan apapun seorang hamba yang beriman kepada-Nya harus sentiasa berbaik sangka kepada Allah. Dan haruslah diyakini bahwa tidaklah Allah menurunkan berbagai musibah melainkan sebagai batu ujian atas keimanan yang mereka miliki. Allah Ta’ala berfirman :

“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk ke dalam surga, padahal belum datang kepada kalian (dugaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam goncangan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang bersamanya : Bilakah datang pertolongan Allah? Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah amatlah dekat.” (Al Baqarah : 214)
Kesabaran merupakan perkara yang amat dicintai oleh Allah dan sangat diperlukan bagi seorang muslim dalam menghadapi ujian dan dugaan yang dialaminya.

Semoga Allah menganugerahkan kepada kita keperibadian yang tinggi dalam menghadapi berbagai dugaan di dunia ini dan begitu juga kembali ke Akhirat kelak, dalam keadaan memperolehi redha-Nya. Amin ya Rabbal ‘alamin.

WANITA DAN DAKWAH


Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Bazz Rahimahullah
(Majmu’ Fatawa wa Maqaalat, 7/323-326)

Wanita sama seperti lelaki dalam kewajiban berdakwah kepada Allah dan beramar ma’ruf nahyi mungkar.

Dalil-dalil dari Al-qur’an dan Sunnah mencukupi semuanya, kecuali yang dikecualikan oleh dalil. Ucapan para ulama juga jelas dalam hal itu. Diantara dalil dari Al-qur’an tentang hal itu (yang ertinya): “Kaum mukminin dan mukminat, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian lainnya. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.” (At-Taubah : 71)
“Kalian adalah sebaik-baik ummat yang dilahirkan bagi manusia. Kalian menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar serta kalian beriman kepada Allah.” (Ali Imron : 110)

Hendaknya wanita itu berdakwah kepada Allah dengan adab-adab yang sesuai dengan syari’at yang juga dituntut dari para lelaki. Wanita itu juga harus sabar dan mengharap pahala dari Allah (yang ertinya): “Bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal : 46)

Dan juga firman Allah azza wajalla yang menceritakan ucapan Luqman kepada anaknya (yang ertinya): “Wahai anakku, dirikanlah sholat, suruhlah kepada yang ma’ruf, laranglah dari yang mungkar dan bersabarlah engkau menghadapi apa yang menimpamu, kerana itu adalah perkara yang diwajibkan Allah.” (Luqman : 17)

Kemudian dia juga hendaknya memperhatikan beberapa perkara, seperti: dia harus menjadi tauladan dalam menjaga iffah (kehormatan), hijab dan amal sholih. Hendaknya dia menjauhi tabarruj dan ikhtilath (bercampur-baur antara lekai dan wanita yang bukan muhrim) yang itu adalah terlarang hingga dia berdakwah dengan ucapan dan perbuatan dalam meninggalkan apa yang diharamkan Allah atasnya. (Ini jawapan atas soal: Apakah pendapat Anda antara wanita dan dakwah?)

Soal berikutnya:
Apakah perlu kita sediakan waktu untuk wanita agar dia berdakwah kepada Allah?

Jawab:
Saya tidak dapati ada larangan dalam hal itu. Jika ditemui ada wanita solehah yang boleh berdakwah, dan selayaknya dia dibantu, mengatur waktunya, diminta darinya untuk membimbing para wanita sejenisnya, karena memang para wanita butuh kepada para pembimbing wanita. Adanya wanita seperti ini di kalangan wanita lainnya kadang lebih bermanfaat dalam menyampaikan dakwah untuk mengajak kepada jalan yang benar daripada lelaki . Kadang wanita-wanita itu malu bertanya kepada da’i yang lelaki sehingga dia menyembunyikan apa yang seharusnya dia tanyakan. Kadang pula dia terlarang untuk mendengarkan dakwah dari lelaki atau ustaz-ustaz. Namun jika da’inya wanita, dia tidak demikian. Kerana dia boleh hampir dengan da'i wanita tersebut dan menyampaikan apa yang perlu baginya serta hal itu lebih besar pengaruhnya.

Maka wanita yang memiliki ilmu hendaknya menjalankan kewajiban dakwah ini dan membimbing kepada kebaikan semampunya berdasarkan firman Allah (yang ertinya): “Ajaklah mereka kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang paling baik.” (An-Nahl : 125)
“Katakanlah: Inilah jalanku, aku berdakwah kepada Allah berdasarkan bashiroh (ilmu), aku dan orang yang mengikutiku.” (Yusuf : 108)

“Dan siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang berdakwah kepada Allah dan beramal soleh dan dia mengatakan: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (Islam).”
(At-Taghabun:16)

Dan juga firman Allah Subhanahuwata’ala (yang ertinya): “Maka bertaqwalah kalian semampunya.” (Fushilat : 33)
Ayat-ayat yang semakna dengan ini cukup banyak. Merangkumi lelaki dan wanita dan hanya Allah lah yang memberikan taufiq.



Dikutip dari Buletin Islamiy “Al-Minhaj”, Edisi kedua Tahun I, hal. 16.
Diterbitkan oleh Maktabah Adz Dzahabi Group, Kota Medan
Sumber:http://www.thullabul-ilmiy.or.id

Tuesday, December 15, 2009


Nasihat Penutup Tahun

Penulis: Dr Shalih bin Fauzan Al Fauzan




Segala puji bagi Allah yang telah menetapkan sifat fana bagi dunia ini dan mengabarkan bahwa akhirat adalah negeri abadi, dengan kematian dia membinasakan usia yang panjang.
Saya memuji-Nya atas segenap nikmat-Nya yang tercurah dan saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah semata, Dzat Yang Menundukkan segala sesuatu. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Dia telah memperingatkan dari condong kepada negeri ini, shalawat serta salam semoga tercurah kepada beliau dan keluarganya beserta para shahabatnya yang taat dan suci sepanjang siang dan malam. Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah dan pikirkanlah dunia kalian dan betapa cepat dia berlalu. Bersiap-siaplah menyambut akhirat dan kengeriannya. Setiap bulan yang menghampiri seseorang semakin menyeret dia mendekati ajal dan akhiratnya.

Sebaik-baik kalian adalah yang panjang umurnya lagi baik amalannya, dan sejelek-jelek kalian adalah yang panjang umurnya lagi buruk amalannya. Tidak ada selain apakah seseorang diberi pahala atas ketaatan dan kebaikannya atau diganjar dengan dosa atas kejelekan dan kemaksiatannya, kecuali apabila dikatakan fulan telah wafat. Alangkah dekatnya kehidupan dengan kematian. Dan segala yang akan datang pasti datang. Dan kalian sekarang akan meninggalkan tahun yang telah usai dan usia kalian pun semakin berkurang dan akan menyambut tahun yang kalian tidak tahu apakah kalian akan menyelesaikannya ataukah tidak?! Maka hisablah diri-diri kalian apa yang telah kita perbuat pada tahun yang lalu? Apabila kebaikan, bersyukurlah kepada Allah dan sambunglah kebaikan itu dengan kebaikan. Sedangkan apabila buruk, bertaubatlah kepada Allah darinya dan isi sisa-sisa usia kita (dengan kebaikan) sebelum luput darinya.
Berkata Maimun bin Mihran, “Tidak ada kebaikan dalam kehidupan kecuali bagi orang yang bertaubat atau seseorang yang beramal shalih mencari derajat yang tinggi.” Yakni orang yang bertaubat, kesalahan-kesalahannya gugur disebabkan taubatnya dan orang yang beramal shalih bersungguh-sungguh dalam menggapai derajat yang tinggi dan selain mereka merugi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada di dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan saling nasihat menasihati di dalam kebenaran dan saling nasihat menasihati di dalam kesabaran.” Pada ayat ini Allah bersumpah dengan waktu yang merupakan zaman dimana manusia tinggal, bahwa setiap manusia berada di dalam kerugian. Kecuali mereka yang memiliki 4 sifat yang disebutkan; iman, amal shalih, saling nasihat-menasihati di dalam kebenaran dan saling nasihat menasihati di dalam kesabaran di atas kebenaran.

Surat yang agung ini merupakan tolok ukur amal perbuatan, dengannya seorang mukmin menimbang dirinya sehingga jelaslah baginya apakah dia termasuk golongan yang beruntung atau merugi. Oleh karena itu Al Imam Asy-Syafi’i berkata, “Seandainya setiap orang mentadabburi surat ini pastilah cukup baginya.” Dan sebagian ulama berkata, “Dahulu orang-orang yang shiddiq merasa malu kepada Allah apabila di hari itu (kualitas) amalannya seperti kemarin hari.” Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak rela hari berganti kecuali amalan kebajikannya bertambah. Dan mereka malu apabila tidak ada kebajikan yang bertambah dan mereka menganggap hal itu sebagai kerugian. Maka dengan bertambah usia seorang mukmin bertambah pula kebaikannya. Barangsiapa kondisinya seperti ini kehidupan lebih baik darinya daripada kematian. Dan pada doa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, “Ya Allah jadikanlah kehidupan sebagai penambah kebaikan bagiku dan (jadikanlah) kematian sebagai penghenti kejelekan dariku”. HR Muslim.
Dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Rhadiyallahu 'Anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Tidaklah seseorang wafat kecuali dia menyesal, apabila dia orang yang baik dia menyesal kenapa tidak lebih baik dan apabila dia orang jahat dia menyesal kenapa dia tidak bertaubat.” Dan ditampakkan orang-orang yang telah wafat di dalam tidur, ia berkata, “Tidak ada pada kami yang lebih banyak daripada penyesalan dan tidak ada pada kalian yang lebih banyak daripada kelalaian.” Dan sebagian mereka melihat di dalam tidurnya, ia berkata, “Kami menyesal atas suatu yang besar, kami mengetahui tapi kami tidak berbuat sedangkan kalian berbuat tapi tidak mengetahui. Sungguh demi Allah sekali tasbih atau dua kali atau satu rakaat atau dua rakaat yang terdapat di lembaran (amalan kami) lebih kami cintai daripada dunia dan seisinya.”

Wahai hamba-hamba Allah, sesungguhnya setiap amalan tergantung penutupannya. Barangsiapa berbuat baik pada sisa umurnya akan diampuni kesalahannya yang telah lalu, dan barangsiapa berbuat buruk pada sisa umurnya akan dihukum atas kesalahan yang telah lalu dan kesalahan di sisa umurnya. Orang-orang yang telah wafat menyesal atas apa yang telah luput dari berbagai kesenangan dunia yang fana. Apa yang telah berlalu dari dunia walaupun pada masa yang lampau sungguh telah hilang kelezatannya dan tinggal sisa-sisanya dan apabila kematian telah datang seolah-olah itu semua tidak ada. Allah Ta’ala berfirman, “Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian datang kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka, niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya. (QS. Asy-Syuara’: 205-207)
Dan pada Shahih Muslim dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda, “Allah mengangkat udzur dari hambanya yang Dia panjangkan umurnya sampai enam puluh tahun.” Dan di dalam Sunan At-Tirmidzi, “Usia ummatku antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun, dan sedikir dari mereka yang melewati itu.” Wahai yang bergembira dengan bertambahnya usia, sesungguhnya engkau bergembira atas berkurangnya usiamu.

Berkata sebagian ahli hikmah, “Bagaimana bisa bergembira seseorang yang harinya membinasakan bulannya dan bulannya membinasakan tahunnya dan tahunnya membinasakan umurnya. Bagaimana bisa bergembira seseorang yang umurnya menggiringnya kepada ajalnya dan kehidupannya menggiringnya kepada kematiannya.”
Akan didatangkan di hari kiamat seseorang yang paling panjang umurnya di dunia dari golongan kelas atas yang menelantarkan ketaatan kepada Allah dan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan, kemudian dicelup di neraka sekali celup, kemudian dikatakan padanya, “Apa engkau pernah merasakan kesenangan di dunia sekali saja? Apa pernah engkau melalui kegembiraan di dunia sebentar saja? Maka ia berkata, “Sungguh tidak pernah wahai Rabb! Lupa segala macam kenikmatan dunia pada awal dirasakan padanya azab. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang diberikan pada mereka kesempatan hidup kemudian mereka telantarkan dalam kelalaian dan kesenangan. Dan diberikan pada mereka harta kemudian mereka hambur-hamburkan di jalan syahwat-syahwat yang haram. Ketika mereka merasakan balasan mereka yang pertama, mereka lupa setiap apa yang pernah mereka miliki di dunia dari waktu dan harta dan semua apa yang pernah mereka rasakan dari kelezatan dan syahwat. Merekalah orang-orang yang memusatkan akal-akalnya dan aktifitasnya serta perhatiannya untuk dunia mereka dan mengikuti syahwat perut dan kemaluan mereka dan meninggalkan kewajiban terhadap Rabb mereka dan melupakan akhirat mereka. Hingga datang kepada mereka kematian sehingga mereka keluar dari dunia dalam keadaan tercela, merugi dari kebaikan-kebaikan, sehingga bersatulah pada mereka sakratulmaut dan ruginya kematian. Maka mereka pun menyesal di saat penyesalan tidak lagi bermanfaat, “dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam, dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan, "Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini." Maka, pada hari itu tiada seorangpun menyiksa seperti siksa-Nya, (QS. Al Fajr: 25)

Maka pikirkanlah wahai manusia sekalian! Dengan habisnya tahun habis pula umur seseorang dan pikirkanlah, dengan berpindahnya tahun perpindahan ke negeri akhirat. “Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal. (Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu.Dan barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab. (QS. Ghafir: 39-40)


Sumber :
Sahab.net
http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=411






PENUNTUT ILMU TIDAK BOLEH FUTUR

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Seorang penuntut ilmu tidak boleh futur dalam usahanya untuk memperoleh dan mengamalkan ilmu. Futur yaitu rasa malas, enggan, dan lamban dimana sebelumnya ia rajin, bersungguh-sungguh, dan penuh semangat. Futur adalah satu penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para da’i, dan penuntut ilmu. Sehingga seseorang menjadi lemah dan malas, bahkan terkadang berhenti sama sekali dari melakukan aktivitas kebaikan. Orang yang terkena penyakit futur ini berada pada tiga golongan, yaitu:

1). Golongan yang berhenti sama sekali dari aktivitasnya dengan sebab futur, dan golongan ini banyak sekali.

2). Golongan yang terus dalam kemalasan dan patah semangat, namun tidak sampai berhenti sama sekali dari aktivitasnya, dan golongan ini lebih banyak lagi.

3). Golongan yang kembali pada keadaan semula, dan golongan ini sangat sedikit. [1]

Futur memiliki banyak dan bermacam-macam sebab. Apabila seorang muslim selamat dari sebagiannya, maka sedikit sekali kemungkinan selamat dari yang lainnya. Sebab-sebab ini sebagiannya ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus.
Di antara sebab-sebab itu adalah. 1). Hilangnya keikhlasan. 2). Lemahnya ilmu syar’i. 3). Ketergantungan hati kepada dunia dan melupakan akhirat. 4). Fitnah (cobaan) berupa isteri dan anak. 5). Hidup di tengah masyarakat yang rusak. 6). Berteman dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang lemah dan cita-cita duniawi. 7). Melakukan dosa dan maksiyat serta memakan yang haram. 8). Tidak mempunyai tujuan yang jelas (baik dalam menuntut ilmu maupun berdakwah). 9). Lemahnya iman. 10). Menyendiri (tidak mau berjama’ah). 11). Lemahnya pendidikan. [2] Futur adalah penyakit yang sangat ganas, namun tidaklah Allah menurunkan penyakit melainkan Dia pun menurunkan obatnya. Akan mengetahuinya orang-orang yang mau mengetahuinya, dan tidak akan mengetahuinya orang-orang yang enggan mengetahuinya.

Di antara obat penyakit futur adalah. 1). Memperbaharui keimanan. Yaitu dengan mentauhidkan Allah dan memohon kepada-Nya agar ditambah keimanan, serta memperbanyak ibadah, menjaga shalat wajib yang lima waktu dengan berjama’ah, mengerjakan shalat-shalat sunnah rawatib, melakukan shalat Tahajjud dan Witir. Begitu juga dengan bersedekah, silaturahmi, birrul walidain, dan selainnya dari amal-amal ketaatan. 2). Merasa selalu diawasi Allah Ta’ala dan banyak berdzikir kepada-Nya. 3). Ikhlas dan takwa. 4). Mensucikan hati (dari kotoran syirik, bid’ah dan maksiyat). 5). Menuntut ilmu, tekun menghadiri pelajaran, majelis taklim, muhadharah ilmiyyah, dan daurah-daurah syar’iyyah. 6). Mengatur waktu dan mengintrospeksi diri. 7). Mencari teman yang baik (shalih). 8). Memperbanyak mengingat kematian dan takut terhadap suul khatimah (akhir kehidupan yang jelek). 9). Sabar dan belajar untuk sabar. 10). Berdo’a dan memohon pertologan Allah. [3]

PENUNTUT ILMU TIDAK BOLEH PUTUS ASA DALAM MENUNTUT ILMU DAN WASPADA TERHADAP BOSAN


Sebab, bosan adalah penyakit yang mematikan, membunuh cita-cita seseorang sebesar sifat bosan yang ada pada dirinya. Setiap kali orang itu menyerah terhadap kebosanan, maka ilmunya akan semakin berkurang. Terkadang sebagian kita berkata dengan tingkah lakunya, bahkan dengan lisannya, “Saya telah pergi ke banyak majelis ilmu, namun saya tidak bisa mengambil manfaat kecuali sedikit.” Ingatlah wahai saudaraku, kehadiran Anda dalam majelis ilmu cukup membuat Anda mendapatkan pahala. Bagaimana jika Anda mengumpulkan antara pahala dan manfaat? Oleh karena itu, janganlah putus asa. Ketahuilah, ada beberapa orang yang jika saya ceritakan kisah mereka, maka Anda akan terheran-heran. Di antaranya, pengarang kitab Dzail Thabaqaat al-Hanabilah. Ketika menulis biografi, ia menyebutkan banyak cerita unik beberapa orang ketika mereka menuntut ilmu. ‘Abdurrahman bin an-Nafis -salah seorang ulama madzhab Hanbali- dulunya adalah seorang penyanyi. Ia mempunyai suara yang bagus, lalu ia bertaubat dari kemunkaran ini. Ia pun menuntut ilmu dan ia menghafal kitab al-Haraqi, salah satu kitab madzhab Hanbali yang terkenal. Lihatlah bagaimana keadaannya semula. Ketika ia jujur dalam taubatnya, apa yang ia dapatkan? Demikian pula dengan ‘Abdullah bin Abil Hasan al-Jubba’i. Dahulunya ia seorang Nashrani. Kelurganya juga Nashrani bahkan ayahnya pendeta orang-orang Nashrani sangat mengagungkan mereka. Akhirnya ia masuk Islam, menghafal Al-Qur-an dan menuntut ilmu. Sebagian orang yang sempat melihatnya berkata, “Ia mempunyai pengaruh dan kemuliaan di kota Baghdad.” Demikian juga dengan Nashiruddin Ahmad bin ‘Abdis Salam. Dahulu ia adalah seorang penyamun (perampok). Ia menceritakan tentang kisah taubatnya dirinya: Suatu hari ketika tengah menghadang orang yang lewat, ia duduk di bawah pohon kurma atau di bawah pagar kurma. Lalu melihat burung berpindah dari pohon kurma dengan teratur. Ia merasa heran lalu memanjat ke salah satu pohon kurma itu. Ia melihat ular yang sudah buta dan burung tersebut melemparkan makanan untuknya. Ia merasa heran dengan apa yang dilihat, lalu ia pun taubat dari dosanya. Kemudian ia menuntut ilmu dan banyak mendengar dari para ulama. Banyak juga dari mereka yang mendengar pelajarannya. Inilah sosok-sosok yang dahulunya adalah seorang penyamun, penyanyi dan ada pula yang Nashrani. Walau demikian, mereka menjadi pemuka ulama, sosok mereka diacungi jempol dan amal mereka disebut-sebut setelah mereka meninggal. Jangan putus asa, berusahalah dengan sungguh-sungguh, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah. Walaupun Anda pada hari ini belum mendapatkan ilmu, maka curahkanlah terus usahamu di hari kedua, ketiga, keempat,.... setahun, dua tahun, dan seterusnya...[4] Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru dalam meraih ilmu syar’i. Menuntut ilmu syar’i tidak bisa kilat atau dikursuskan dalam waktu singkat. Harus diingat, bahwa perjalanan dalam menuntut ilmu adalah panjang dan lama, oleh karena itu wajib sabar dan selalu memohon pertolongan kepada Allah agar tetap istiqamah dalam kebenaran. [Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]





__________
Foote Notes [1]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 22). [2]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 43-71). [3]. Ibid (hal. 88-119) dengan diringkas. [4]. Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 278-279




Friday, December 11, 2009


Kaidah Dalam Ibadah.....(TIPS FAKTA!)


Ibadah merupakan syariat Allah s.w.t. Mesti dibangun di atas pokok dan dasar yang kukuh. Ibadah yang tidak di landasi dasar yang benar sia-sia sahaja.

Allah s.w.t. telah menjelaskan bahawa tujuan utama penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepadaNya. Namun, tahukah kita bahawa ibadah tersebut tidak lagi berguna jika tidak menetapi kaidahnya? Berikut kaidah-kaidah penting yang mendasari benarnya suatu ibadah;

1. Ibadah bersifat tauqifiyyah (Instan,tidak ada peranan akal di dalamnya /berdasarkan dalil).
Allah s.w.t menyatakan ,"Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu,maka ikutilah syariat itu janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (Al- Jaatsiyyah :18)

2. Ibadah harus dilakukan dengan ikhlas,bebas dari noda syirik. Allah s.w.t berfirman,"Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu , yang di wahyukan kepadaku: "Bahawa sesungguhnya Ilah kamu adalah Ilah Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabb-nya." (Al-Kahfi:110). Apabila ibadah tercampur dengan kesyirikan ,maka batillah amalannya. "Seandainya mereka mempersekutukan Allah ,niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." (Al-An'am:88)

3. Mengikuti Sunnah Nabi s.a.w (Ittiba'). Allah s.w.t menyatakan ,"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah ."(Al-Ahzab:21). Dan Rasulullah s.a.w bersabda , "Barangsiapa yang melaksanakan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalannya tertolak." (Riwayat Muslim).

4.Sebagian ibadah telah dibatasi dengan masa dan ukuran tertentu, maka tidak boleh melanggar batasannya.Seperti shalat, puasa Ramadhan ,haji dan semisalnya, harus dilakukan sesuai dengan waktunya.
5. Ibadah harus dilandasi oleh rasa cinta (mahabbah),takut(khauf), harap (raja') dan merendahkan diri hanya kepada Allah s.w.t.
6. Kewajipan peribadahan tidak akan gugur bagi setiap Muslim/mah dari semenjak baligh hingga meninggalnya. Allah s.w.t mengatakan , "Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (kematian)." (Al-Hijr:99)

Sumber; Haqiqatu Ashufiyyah, Dr.Shalih Fauzan Al Fauzan

Wednesday, December 9, 2009


WAHAI ANAKKU, CINTAILAH AL-QU'RAN!

Mengajarkan Al-Qur’an kepada anak adalah hal yang paling pokok dalam Islam. Dengan hal tersebut, anak akan senantiasa dalam fitrahnya dan di dalam hatinya bersemayam cahaya-cahaya hikmah sebelum hawa nafsu dan maksiat mengeruhkan hati dan menyesatkannya dari jalan yang benar.

Para sahabat nabi benar-benar mengetahui pentingnya menghafal Al-Qur’an dan pengaruhnya yang nyata dalam diri anak. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anaknya sebagai pelaksanaan atas saran yang diberikan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam hadits yang diriwayatkan dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash,

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari).

Sebelum kita memberi tugas kepada anak-anak kita untuk menghafal Al-Qur’an, maka terlebih dahulu kita harus menanamkan rasa cinta terhadap Al-Qur’an. Sebab, menghafal Al-Qur’an tanpa disertai rasa cinta tidak akan memberi faedah dan manfaat. Bahkan, mungkin jika kita memaksa anak untuk menghafal Al-Qur’an tanpa menanamkan rasa cinta terlebih dahulu, justru akan memberi dampak negatif bagi anak. Sedangkan mencintai Al-Qur’an disertai menghafal akan dapat menumbuhkan perilaku, akhlak, dan sifat mulia.

Menanamkan rasa cinta anak terhadap Al-Qur’an pertama kali harus dilakukan di dalam keluarga, yaitu dengan metode keteladanan. Karena itu, jika kita menginginkan anak mencintai Al-Qur’an, maka jadikanlah keluarga kita sebagai suri teladan yang baik dengan cara berinteraksi secara baik dengan Al-Qur’an. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara memuliakan kesucian Al-Qur’an, misalnya memilih tempat paling mulia dan paling tinggi untuk meletakkan mushaf Al-Qur’an, tidak menaruh barang apapun di atasnya dan tidak meletakkannya di tempat yang tidak layak, bahkan membawanya dengan penuh kehormatan dan rasa cinta, sehingga hal tersebut akan merasuk ke dalam alam bawah sadarnya bahwa mushaf Al-Qur’an adalah sesuatu yang agung, suci, mulia, dan harus dihormati, dicintai, dan disucikan.

Sering memperdengarkan Al-Qur’an di rumah dengan suara merdu dan syahdu, tidak memperdengarkan dengan suara keras agar tidak mengganggu pendengarannya. Memperlihatkan pada anak kecintaan kita pada Al-Qur’an, misalnya dengan cara rutin membacanya.

Adapun metode-metode yang bisa digunakan anak mencintai Al-Qur’an diantaranya adalah:

1. Bercerita kepada anak dengan kisah-kisah yang diambil dari Al-Qur’an.

Mempersiapkan cerita untuk anak yang bisa menjadikannya mencintai Allah Ta’ala dan Al-Qur’an Al-Karim, akan lebih bagus jika kisah-kisah itu diambil dari Al-Qur’an secara langsung, seperti kisah tentang tentara gajah yang menghancurkan Ka’bah, kisah perjalanan nabi Musa dan nabi Khidir, kisah Qarun, kisah nabi Sulaiman bersama ratu Bilqis dan burung Hud-hud, kisah tentang Ashabul Kahfi, dan lain-lain.

Sebelum kita mulai bercerita kita katakan pada anak, “Mari Sayangku, bersama-sama kita dengarkan salah satu kisah Al-Qur’an.”

Sehingga rasa cinta anak terhadap cerita-cerita itu dengan sendirinya akan terikat dengan rasa cintanya pada Al-Qur’an. Namun, dalam menyuguhkan cerita pada anak harus diperhatikan pemilihan waktu yang tepat, pemilihan bahasa yang cocok, dan kalimat yang terkesan, sehingga ia akan memberi pengaruh yang kuat pada jiwa dan akal anak.

2. Sabar dalam menghadapi anak.

Misalnya ketika anak belum bersedia menghafal pada usia ini, maka kita harus menangguhkannya sampai anak benar-benar siap. Namun kita harus selalu memperdengarkan bacaan Al-Qur’an kepadanya.

3. Menggunakan metode pemberian penghargaan untuk memotivasi anak.

Misalnya jika anak telah menyelesaikan satu surat kita ajak ia untuk jalan-jalan/rekreasi, atau dengan menggunakan lembaran prestasi/piagam penghargaan, sehingga anak akan semakin terdorong untuk mengahafal Al-Qur’an.

4. Menggunakan semboyan untuk mengarahkan anak mencintai Al-Qur’an.

Misalnya :
Saya mencintai Al-Qur’an.
Al-Qur’an Kalamullah.
Allah mencintai anak yang cinta Al-Qur’an.
Saya suka menghafal Al-Qur’an.
Atau sebelum menyuruh anak memulai menghafal Al-Quran, kita katakan kepada mereka, “Al-Qur’an adalah kitab Allah yang mulia, orang yang mau menjaganya, maka Allah akan menjaga orang itu. Orang yang mau berpegang teguh kepadanya, maka akan mendapat pertolongan dari Allah. Kitab ini akan menjadikan hati seseorang baik dan berperilaku mulia.”

5. Menggunakan sarana menghafal yang inovatif.

Hal ini disesuaikan dengan kepribadian dan kecenderungan si anak (cara belajarnya), misalnya :

  • Bagi anak yang dapat berkonsentrasi dengan baik melalui pendengarannya, dapat menggunakan sarana berupa kaset, atau program penghafal Al-Qur’an digital, agar anak bisa mempergunakannya kapan saja, serta sering memperdengarkan kepadanya bacaan Al-Qur’an dengan lantunan yang merdu dan indah.
  • Bagi anak yang peka terhadap sentuhan, memberikannya Al-Qur’an yang cantik dan terlihat indah saat di bawanya, sehingga ia akan suka membacanya, karena ia ditulis dalam lembaran-lembaran yang indah dan rapi.
  • Bagi anak yang dapat dimasuki melalui celah visual, maka bisa mengajarkannya melalui video, komputer, layer proyektor, melalui papan tulis, dan lain-lain yang menarik perhatiannya.

6. Memilih waktu yang tepat untuk menghafal Al-Qur’an.
Hal ini sangat penting, karena kita tidak boleh menganggap anak seperti alat yang dapat dimainkan kapan saja, serta melupakan kebutuhan anak itu sendiri. Karena ketika kita terlalu memaksa anak dan sering menekannya dapat menimbulkan kebencian di hati anak, disebabkan dia menanggung kesulitan yang lebih besar. Oleh karena itu, jika kita ingin menanamkan rasa cinta terhadap Al-Qur’an di hati anak, maka kita harus memilih waktu yang tepat untuk menghafal dan berinteraksi dengan Al-Qur’an.

Adapun waktu yang dimaksud bukan saat seperti di bawah ini:
Setelah lama begadang, dan baru tidur sebentar,
Setelah melakukan aktivitas fisik yang cukup berat,
Setelah makan dan kenyang,
Waktu yang direncanakan anak untuk bermain,
Ketika anak dalam kondisi psikologi yang kurang baik,
Ketika terjadi hubungan tidak harmonis anatara orangtua dan anak, supaya anak tidak membenci Al-Qur’an disebabkan perselisihan dengan orangtuanya.

Kemudian hal terakhir yang tidak kalah penting agar anak mencintai Al-Qur’an adalah dengan membuat anak-anak kita mencintai kita, karena ketika kita mencintai Al-Qur’an, maka anak-anak pun akan mencintai Al-Qur’an, karena mereka mengikuti orang yang dicintai. Adapun beberapa cara agar anak-anak kita semakin mencintai kita antara lain:

  • Senantiasa bergantung kepada Allah, selalu berdo’a kepada Allah untuk kebaikan anak-anak. Dengan demikian Allah akan memberikan taufikNya dan akan menyatukan hati kita dan anak-anak.
  • Bergaul dengan anak-anak sesuai dengan jenjang umurnya, yaitu sesuai dengan kaedah, “Perlakukan manusia menurut kadar akalnya.” Sehingga kita akan dengan mudah menembus hati anak-anak.
  • Dalam memberi pengarahan dan nasehat, hendaknya diterapkan metode beragam supaya anak tidak merasa jemu saat diberi pendidikan dan pengajaran.
  • Memberikan sangsi kepada anak dengan cara tidak memberikan bonus atau menundanya sampai waktu yang ditentukan adalah lebih baik daripada memberikan sangsi berupa sesuatu yang merendahkan diri anak. Tujuannya tidak lain supaya anak bisa menghormati dirinya sendiri sehingga dengan mudah ia akan menghormati kita.
  • Memahami skill dan hobi yang dimiliki anak-anak, supaya kita dapat memasukkan sesuatu pada anak dengan cara yang tepat.
  • Berusaha dengan sepenuh hati untuk bersahabat dengan anak-anak, selanjutnya memperlakukan mereka dengan bertolak pada dasar pendidikan, bukan dengan bertolak pada dasar bahwa kita lebih utama dari anak-anak, mengingat kita sudah memberi makan, minum, dan menyediakan tempat tinggal. Hal ini secara otomatis akan membuat mereka taat tanpa pernah membantah.
  • Membereskan hal-hal yang dapat menghalangi kebahagiaan dan ketenangan hubungan kita dengan anak-anak.
  • Mengungkapkan rasa cinta kepada anak, baik baik dengan lisan maupun perbuatan.

Itulah beberapa point cara untuk menumbuhkan rasa cinta anak kepada Al-Qur’an. Semoga kegiatan menghafal Al-Qur’an menjadi hal yang menyenangkan bagi anak-anak, sehingga kita akan mendapat hasil sesuai yang kita harapkan.

Diringkas dari Agar Anak Mencintai Al-Qur’an, Dr. Sa’ad Riyadh




Nasihat berharga untuk mereka yang menghargai hidup ini...


Diriwayatkan dari Syaqiq Al-Bajaly rahimahullâh, bahwa beliau bertanya kepada muridnya Hatim, “Engkau telah menemaniku dalam kurung waktu (yang lama). Lalu apakah yang engkau telah pelajari dari ku?”

Hatim rahimahullâh menjawab: “(Saya telah mempelajari) lapan perkara :

Pertama : Saya melihat kepada makhluk, ternyata setiap orang memiliki kecintaan. Namun jika ia telah mencapai kuburnya maka kecintaannya akan berpisah dari nya. Maka saya pun menjadikan (amalan-amalan) kebaikanku sebagai kecintaanku agar ia senantiasa bersamaku di alam kubur.

Kedua : Saya melihat kepada Firman ALLAH Ta’âlâ, “(Dan orang-orang yang) menahan diri dari keinginan hawa nafsunya.[An-Nâzi’ât : 40], maka saya pun bersungguh-sungguh menolak hawa nafsu dari diriku sehingga senantiasa tetap di atas ketaatan kepada ALLAH Ta’âlâ.

Ketiga : Saya melihat setiap orang yang memiliki sesuatu yang berharga bagi nya, pasti ia akan senantiasa menjaganya. Kemudian saya memperhatikan Firman (ALLAH) Subhânahu wa Ta’âlâ, “Apa yang di sisimu akan sirna, dan apa yang ada di sisi ALLAH adalah kekal.[An-Nahl :96], maka setiap kali saya memiliki sesuatu yang berharga, pasti saya hadapkan kepada-NYA agar ia kekal untukku di sisi-NYA.

Keempat : Saya melihat manusia kembali kepada harta, kedudukan dan kehormatan, sedangkan itu tidak (berarti) sedikit pun. Kemudian saya mencermati Firman (ALLAH) Ta’âlâ, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. [Al-Hujarât :13] maka saya pun beramal dengan ketakwaan agar saya menjadi mulia di sisi-NYA.

Kelima : Saya melihat manusia saling mendengki (hasad). Lalu saya memperhatikan Firman (ALLAH) Ta’âlâ, “KAMI telah menentukan antara mereka penghidupan mereka.[Az-Zukhruf :32], maka saya pun meninggalkan hasad.

Keenam : Saya melihat manusia saling bermusuhan. Kemudian saya mencermati Firman (ALLAH) Ta’âlâ, “Sesungguhnya syaithân itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia sebagai musuh.[Fâthir :6], maka saya pun meninggalkan permusuhan mereka dan saya jadikan syaithân sebagai musuh satu-satunya.

Ketujuh : Saya melihat mereka menghinakan diri-diri mereka dalam mencari rezki. Lalu saya mencermati Firman (ALLAH) Ta’âlâ, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan ALLAH-lah yang memberi rezkinya.[Hûd :6], maka saya pun menyibukkan diriku dengan apa-apa yang merupakan hak ALLAH terhadapku dan saya tinggalkan apa yang untukku di sisi-NYA.

Kelapan : Saya melihat mereka bergantung (tawakkal) pada pergangan, usaha dan kesehatan badan, maka saya pun bertawakkal hanya kepada ALLAH.

[Bahjatul Majâlis Wa Anîsul Muqîm Wal Musâfir Juz II hal 12-13]

Sunday, December 6, 2009



بسم الله الرحمن الرحيم

HUKUM MEMPERINGATI TAHUN BARU ISLAM

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari Besar Islam yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin. Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan dalam syari’at Islam? Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang ahli fiqih paling terkemuka pada masa ini.
Pertanyaan : Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.

Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau. Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab : تخصيص الأيام، أو الشهور، أو السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع وليس إلى العادة، ولهذا لما قدم النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال: «ما هذان اليومان»؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى، ويوم الفطر». ولو أن الأعياد في الإسلام كانت تابعة للعادات لأحدث الناس لكل حدث عيداً ولم يكن للأعياد الشرعية كبير فائدة. ثم إنه يخشى أن هؤلاء اتخذوا رأس السنة أو أولها عيداً متابعة للنصارى ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند رأس السنة الميلادية فيكون في اتخاذ شهر المحرم عيداً محذور آخر. كتبه محمد بن صالح العثيمين 24/1/1418 هـ

Jawab : Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“ Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya. Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain. Ditulis oleh : Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn 24 - 1 - 1418 H [dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131] Para pembaca sekalian, Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, karena : - Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri. - Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka. Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan memperingati Tahun Baru Islam. Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun Baru Islam.
Wallâhu a’lam bish shawâb

Wednesday, December 2, 2009


OLEH : MUHAMMAD ASRIE BIN SOBRI

PENGENALAN KEPADA KUBAH HIJAU DAN SEJARAHNYA
Dalam sejarah Islam, terdapat dua Kubah Hijau iaitulah pertamanya Kubah Hijau Baghdad yang merupakan bumbung istana Darul Khilafah (Istana Khalifah) Bani Abbasiah yang dibina oleh Khalifah al-Mansur r.h[1].
Kedua adalah Kubah Hijau yang menaungi Kubur Nabi s.a.w dan dua sahabat baginda Abu Bakar dan Umar r.a. Kubah Hijau inilah yang dimaksudkan dalam tulisan ini dan sebagaimana yang tertera di dalam gambar di atas.
Kubah Hijau ini dibina pada zaman kesultanan Mamalik tahun 678 H. Sultan ketika itu adalah Qalawun al-Alfi al-Solihi. Pada zaman Usmaniah, di era Sultan Abdul Hamid II bersamaan tahun 1228 H kubah ini dicat dengan warna hijau.
Maka, daripada segi sejarah kubah ini, kita dapati ia tidak dibina di zaman Rasulullah s.a.w, tidak juga zaman Khulafa' al-Rasyidin, tidak juga zaman tabiin, bahkan tidak juga zaman tabi' tabiin. Maka, pembinaan kubah ini langsung tidak menjadi dalil keharusan membina kubah di atas kubur.
PPost Before “read more”

Kedudukan Kubur Nabi s.a.w dan Dua Sahabat Baginda
Kubur Nabi s.a.w, Abu Bakar r.a, dan Umar r.a bukanlah di dalam Masjid Nabawi sebagaimana sangkaan sesetangah manusia tetapi kubur baginda berada di luar daripada kawasan Masjid iaitu berada dalam bilik (rumah) Aisyah r.a sedangkan rumah Aisyah r.a ini melekat dengan masjid yakni dinding rumah Aisyah bercantum dengan dinding masjid. Namun, para ulama telah ijmak bahawa bangunan yang melekat dengan masjid bukanlah sebahagian daripada masjid selama mana ia tidak dimasukkan ke dalam kawasan masjid[2].
Pada tahun 88 Hijrah dalam bulan Rabul Awwal, Khalifah al-Walid bin Abdul Malik al-Umawy memerintahkan gabenornya, Umar bin Abdul Aziz r.h untuk meluaskan Masjid Nabawi dan meruntuhkan rumah isteri-isteri Rasulullah s.a.w untuk dijadikan kawasan masjid. Fuqaha Sepuluh tidak bersetuju kerana mereka tidak mahu rumah-rumah Ummuhatul Mukminin yang menjadi lambang kehidupan zuhud Rasulullah s.a.w namun Al-Walid bertekad juga untuk melaksanakannya. Rumah Aisyah r.a berada di sebelah timur masjid dan qiblat berada di selatan.
Oleh sebab ini Said bin al-Musayyab r.h tidak bersetuju memasukkan bilik Aisyah dalam masjid kerana takut kawasan kubur Nabi s.a.w dan dua sahabat baginda dijadikan sebagai kawasan masjid[3].
Namun, para tabiin rahiamahumullah memahami perkara ini lalu mereka memisahkan kubur Nabi s.a.w dan dua sahabat baginda daripada masjid dengan tiga tembok. Berkata Ibn Qayyim r.h :
ودعا بأن لا يجعل القبر الذي قد ضمه وثنا من الأوثان
فأجاب رب العالمين دعاءه وأحاطه بثلاثة الجدران
Maksudnya : "dan baginda berdoa supaya kuburnya tidak menjadi berhala yang disembah, maka Tuhan sekalian 'alam memperkenankan doanya dan kuburnya diliputi 3 lapis dinding"[4].
Ini kerana, sebaik ditanam Rasulullah s.a.w dijadikan dinding memisahkan kawasan tempat tinggal Aisyah dengan kawasan kubur. Maka jadilah rumah beliau dua bahagian. Kemudian, setelah dtanam Umar, Aisyah berpindah dan dijadikan dinding yang menutup terus rumah tersebut kecuali tingkapnya sahaja. Kemudian apabila zaman al-Walid, Umar bin Abdul Aziz membina sebuah lagi dinding dan dijadikan dinding bahagian utara (yakni kawasan kubur) berbentuk tiga segi supaya apabila orang bersolat tidak menghadap kubur. Jarak antara dindng Umar dengan dinding sahabat adalah jauh. Maka dinding Umar ini sekaligus mengeluarkan kawasan perkuburan Rasulullah s.a.w dan dua sahabat baginda daripada kawasan masjid. Maka dindng yang menjadi pagar kawasan kubur dengan kawasan masjid inilah yang bercamtum dengan masjid. Selepas itu, dibina pula diding ketiga yang memisahkan dinding Umar dengan masjid. Jadilah dinding yang ketiga inilah yang bercantum dengan masjid. Di atas asas dinding yang ketiga inilah berdirinya Kubah Hijau. Kemudian dibina pula pagar besar selepas dinding ketiga dan jarak antara pagar besi ini daripada dinding ketiga adalah 1 meter setengah sehingga 82 meter. Setiap dinding in tidak mempunyai sebarang pintu atau lubang sehingga sesiapa yang menjenguk melalui pagar ini, yang dlihat hanyalah kawasan dinding ketiga dan kawasan kubur masih jauh ke dalam[5]. Oleh itu, jelas bahawa kubur Nabi s.a.w dan dua sahabat baginda bukanlah berada dalam kawasan masjid tetapi kekal di dalam bilik Aisyah r.a.

Larangan Rasulullah s.a.w Menjadikan Kubur Sebagai Tempat Ibadat
عن عائشة - رضي الله عنها - « أن أم سلمة ذكرت لرسول الله صلى الله عليه وسلم كنيسة رأتها بأرض الحبشة وما فيها من الصور ، فقال : " أولئك شرار الخلق عند الله ، أولئك إذا مات فيهم الرجل الصالح أو العبد الصالح بنوا على قبره مسجدا ، وصوروا فيه تلك الصور ، أولئك شرار الخلق عند الله »
Maksudnya : Daripada Aisyah r.a : Bahawa Ummu Salamah r.a menceritakan kepada Rasulullah s.a.w berkenaan sebuah gereja yang dilihatnya d Habsyah dan berkenaan gambar-gambar yang ada di dalamnya, maka sabda Nabi s.a.w : "Itulah sekeji-keji makhluk di sisi Allah, mereka itu (Kristian) apabla mati seorang lelaki soleh dalam kalangan mereka, mereka bina di atas kuburnya masjid (tempat ibadat) dan mereka lukis gambar-gambar itu, merekalah sekeji-keji makhluk di sisi Allah". [al-Bukhari dan Muslim].
Berkata al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani :
وَفِيهِ كَرَاهِيَة الصَّلَاة فِي الْمَقَابِر سَوَاء كَانَتْ بِجَنْبِ الْقَبْر أَوْ عَلَيْهِ أَوْ إِلَيْهِ
Maksudnya : "dan pada hadis ini menunjukkan dibenci untuk bersolat di perkuburan sama ada bersebelahan kubur atau di atasnya atau menghadapnya"[6].
Imam al-Nawawi r.h dalam Syarahnya terhadap Sahih Muslim meletakkan hadis di atas dalam bab : "Bab Larangan Membina Masjid di atas Kubur dan Membuat Gambar-gambar di Dalamnya"[7].
Daripada Aisyah r.a juga katanya :
"لما نُزل برسول الله - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- طفق يطرح خميصة له على وجهه، فإذا اغتم بها كشفها، فقال وهو كذلك: "لعنة الله على اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد" يحذِّر ما صنعوا، ولولا ذلك أُبرز قبره، غير أنه خُشي أن يُتخذ مسجداً
Maksudnya : "Apabila Rasulullah s.a.w didatangi kematian (dalam nazak), baginda menutup wajahnya dengan kain, apabila susah untuk bernafas baginda membukanya lalu bersabda dalam keadaan itu : Laknat Allah ke atas Yahudi Nasrani yang menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai masjid. (kata Aisyah) Baginda melarang umatnya berbuat demikian, jika tidak tentulah akan dizahirkan kubur baginda tetapi takut ianya dijadikan kuburan". [al-Bukhari dan Muslim].
Menurut Imam al-Nawawi, maksud Aisyah r.a dengan tidak dizahirkan kuburan Nabi s.a.w adalah dengan membina tiga dinding yang kami sebutkan. Jadi jelaslah daripada hadis ini, para sahabat berpandangan dengan adanya tiga dinding itu, kuburan Nabi s.a.w dan dua sahabat baginda tidak termasuk dalam kawasan masjid[8].
Daripada Jundub r.a, Nabi s.a.w bersabda :
وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ألا فلا تتخذوا القبور مساجد إني أنهاكم عن ذلك
Maksudnya : "dan sesungguhnya umat sebelum kamu mereka menjadikan perkuburan Nabi-nabi mereka dan orang-orang soleh mereka sebagai masjid (tempat ibadat), maka janganlah kamu jadikan kuburan sebagai masjid sesungguhnya aku melarang kamu daripada melakukan perkara itu". [Muslim].
Hadis ini jelas menunjukkan haramnya menjadikan kuburan sebagai tempat ibadat. Perkara ini adalah ijmak ulama Ahli Sunnah wal Jamaah[9].
Dalam riwayat Malik dan Ahmad bahawa Rasulullah s.a.w bersabda :
"اللهم لا تجعل قبري وثناً يُعبد. اشتد غضبُ الله على قوم اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد"
Maksudnya : "Ya Allah, Janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah, amat besar kemurkaan Allah atas kaum yang menjadikan kuburan Nabi-nabi sebagai masjid"[10].
Hadis ini menunjukkan larangan berlebih-lebih terhadap kubur sehingga menjadikan berhala yang disembah.
عن ابن عباس -رضي الله عنهما- قال: "لعن رسول الله -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- زائرات القبور، والمتخذين عليها المساجد والسُّرج"
Maksudnya : Daripada Ibn Abbas r.a katanya : "Rasulullah s.a.w telah melaknat wanita-wanita yang melazimi ziarah kubur, orang yang menjadikannya (kubur) sebagai masjid, dan yang meletakkan lampu (di kubur)". [Riwayat Abu Daud, al-Tarmizi, Ibn Majah, dan Ahmad].
Hadis ini melarang kita berlebih-lebihan menyanjung kuburan kerana akan membawa kepada syirik. Oleh itu, menyanjung kuburan dengan menghiasinya dan sebagainya adalah dosa besar. Nauzubillah min zalik.

Hukum Membuat Binaan Kubur
Hukum membuat binaan kubur adalah dilarang dalam syariat Islam kerana ia termasuk perkara yang membawa kepada pemujaan kubur dan menjadikannya tempat ibadat.
Terdapat beberapa hadis sahih yang melarangnya :
عنْ أبي وَائِلٍ، أَنّ عَليَا قالَ لأَبِي الهَيّاجِ الأسَدِيّ: أبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي به النبيّ صلى الله عليه وسلم: "أنْ لاَ تَدَع قَبْراً مُشْرِفاً إلاّ سَوّيْتَهُ، ولاَ تِمْثَالاً إلاّ طَمَسْتَهُ"
Maksudnya : Daripada Abu Wael bahawa Ali r.a berkata kepada Abul Hiyaj al-Asadi : "Aku menghantarmu (dengan suatu perintah) sebagaimana Rasulullah s.a.w menghantarku (dengan suatu perintah)iaitu janganlah kamu membiarkan kuburan yang ditinggikan melainkan engkau ratakan dan janganlah kau biarkan patung melainkan engkau pecahkan". [Riwayat al-Jamaah kecuali al-Bukhari dan Ibn Majah].
Dalam hadis ini terdapat larangan keras membina kuburan dan berkata al-Syaukani r.h :
وَمِنْ رَفْعِ الْقُبُورِ الدَّاخِلِ تَحْتَ الْحَدِيثِ دُخُولًا أَوَّلِيَّا الْقُبَبُ وَالْمَشَاهِدُ الْمَعْمُورَةُ عَلَى الْقُبُورِ
Maksudnya : "dan termasuk secara lebih aula larangan meninggikan kuburan yang dilarang dalam hadis adalah kubah-kubah dan mashad-mashad yang dibina di atas kubur"[11].
عن جابر قال : نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يجصص القبر وأن يقعد عليه وأن يبنى عليه
Maksudnya : Daripada Jabir r.a kata beliau :"Rasulullah s.a.w telah melarang untuk menyemen kubur dan duduk di atasnya dan membuat binaan atasnya"[12].
Hadis ini menunjukkan Rasulullah s.a.w melarang kita daripada mengapur kubur atau menyemennya, duduk di atas kubur, dan membuat binaan di atasnya. Maka, jikalau sekadar menyapu semen atau kapur pun dilarang oleh syarak kerana takut membawa kepada syirik dan pemujaan kubur bagaimana pula dengan membina kubah dan bangunan-bangunan mewah di atasnya.
Berkata al-Husoini al-Syafii r.h :
ويكره تجصيصه والكتابة عليه وكذا البناء عليه فلو بني عليه إما قبة أو محوطا ونحوه نظر إن كان في مقبرة مسلبة هدم لأن البناء والحالة هذه حرام
Maksudnya : "dan dimakruhkan menyemen (mengapur) kubur dan menulis di atasnya demikian lagi membuat binaan atasnya, maka jika dibina atasnya sama ada kubah atau pagar dan seumpamanya dilihat; jika ianya perkuburan waqaf (kubur awam) maka dimusnahkan (binaan) kerana membuat binaan dalam keadaan ini adalah haram"[13].
Berkata pengarang Manarus Sabil[14] :
ويكره تزويقه ، وتجصيصه ، وتبخيره لقول جابر نهى النبي صلى الله عليه وسلم أن يجصص القبر ، وأن يبنى عليه ، وأن يقعد عليه رواه مسلم ، زاد الترمذي وأن يكتب عليها . وتقبيله ، والطواف به والصحيح تحريمه ، لأنه من البدع ، وقد روي أن ابتداء عبادة الأصنام تعظيم الأموات
Maksudnya : "dan dimakruhkan menghiasnya (kubur), menyemennya, dan memberikannya wangian berdasarkan hadis Jabir Nabi s.a.w melarang disemen kubur dan dibina atasnya dan diduduk atasnya; diriwayatkan Muslim, al-Tarmizi (dalam riwayatnya) menambah : dan (dilarang) menulis di atasnya. Demikian juga menciumnya dan tawaf mengelilinginya. Adapun yang sahih adalah diharamkannya kerana ianya termasuk bidaah dan telah diriwayatkan bahawa permulaan menyembah berhala adalah memuja orang mati"[15].
Berkata Ibn Hajar al-Haitami r.h :
وَتَجِبُ الْمُبَادَرَةُ لِهَدْمِهَا وَهَدْمِ الْقِبَابِ الَّتِي عَلَى الْقُبُورِ
Maksudnya : "dan wajib bersegera memusnahkannya (masjid-masjid di atas kubur) dan kubah-kubah yang berada di atas kuburan"[16].
Daripada kenyataan ulama di atas, kita dapati bahawa para ulama telah bersepakat dilarang membina kubah di atas kubur. Namun, mereka berbeza pendapat apakah hukum larangan itu sama ada makruh atau haram. Ini jika kubah ini tidak dijadikan tempat ibadat dan bukan di perkuburan awam. Adapun jika kubah ini dijadikan sebagai tempat bertabaruk, membayar nazar dan bersolat serta seumpamanya daripada ibadat, maka mereka bersepakat ianya haram dan wajib diruntuhkan.

Kedudukan Kubah Hijau
Hadis-hadis di atas jelas tidak menegcualikan kuburan Nabi s.a.w bahkan kuburan baginda lebih utama untuk dibersihkan daripada perkara-perkara makruh apatah lagi haram. Oleh itu, sekurang-kurang hukum Kubah Hijau hari ini adalah makruh yakni dibenci oleh Allah s.w.t kerana ia tidak lagi menjadi tempat syirik setelah dikawal oleh Kerajaan Arab Saudi. Tetapi kami melihat, pendapat yang rajih adalah haram membina sebarang kubah di atas kubur kerana ia termasuk dalam erti kata 'Tasyrif' yang diperintah Rasulullah s.a.w supaya diratakan. Inilah pendapat sekumpulan Hanabilah, Syafiiah, dan dirajihkan al-Syaukani r.h.
Oleh itu, yang afdalnya hendaklah kerajaan Saudi dan sekalian kerajaan-kerajaan Islam[17] berusaha membuang Kubah Hijau ini supaya tidak menjadi fitnah kepada mereka yang jahil dan generasi mendatang. Demikian lagi wujudnya kubah ini adalah penghinaan kepada Rasulullah s.a.w dan menyalahi sunnah baginda. Oleh itu, amat tidak layak untuk dibiarkan kubah ini terus wujud.
Fatwa Lajnah Daimah Arab Saudi menyatakan :
"Tidak sah berhujjah dengan perbuatan manusia membina kubah di atas kubur Nabi s.a.w bahawa harus membina kubah di atas kubur-kubur lainnya sama ada orang soleh atau bukan, kerana pembinaan mereka akan kubah di atas kubur Nabi s.a.w itu adalah haram dan pembuatnya berdosa kerana menyalahi akan apa yang sabit daripada Abul Hiyaj al-Asadi : 'Berkata kepadaku Ali bin Abu Talib r.a : Aku mengutusmu sebagaimana Rasulullah s.a.w mengutusku supaya tidaklah engkau biarkan kubur yang ditinggikan melainkan engaku ratakan dan sebuah patung melainkan engkau pecahkan'..." [Fatwa Lajnah Daimah Arab Saudi, 9/83]. Wallahua'lam.
[1] Tarikh Baghdad, 1/31-32. Kubah ini bertahan selama 180 tahun lebih sehingga ia runtuh di zaman al-Wasiq Billah (329 H).
[2] Sebagai contoh kawasan Sa'i walaupun bercantum dengan bangunan Masjidil Haram namun ia bukan kawsan masjid. Maka wanita yang haid dan orang junub masih boleh memasukinya dan melakukan sa'i.
[3] Al-Bidayah wan Nihayah, 9/89-90
[4] Al-Qasidah al-Nuniah, 252.
[5] Al-Tamhid fi Syarhi Kitab al-Tauhid, 365-368.
[6] Fathul Bari , 2/148
[7] Al-Minhaj, 5/11
[8] Ibid, 5/14.
[9] Lihat Tashniful Asma' bi Ba'di Masail Ijmak.
[10] Muwatta' (85), Ahmad, 2/246. Lihat : al-Mulakhas fi Syarhi Kitab al-Tauhid, 1/178.
[11] Nailul Autor, 6/276
[12] Muslim (970)
[13] Kifayatul Akhyar, 1/164
[14] Iaitulah Ibn Dauban, Ibrahim bn Muhammad. Wafat pada tahun 1353 H.
[15] Manarus Sabil, 1/117.
[16]Al-Zawajir, 1/386
[17] Usaha ini mesti datang daripada OIC dan Rabitah Fiqh Sedunia sepertimana usaha meluaskan tempat Saie yang melibatkan fatwa setiap majlis fatwa negara Islam supaya Ahli Bidaah tidak memiliki hujah ke atas Ahli Sunnah untuk memfitnah mereka.

And here is the rest of it